Bulan Juni setiap tahunnya bisa
jadi merupakan hari penuh tawa atau
petaka bagi siswa kelas IX SMP/MTs atau kelas XII SLTA/MA se Indonesia. Banyak kejadian menarik yang dapat
menggambarkan kondisi remaja dan pendidikan kita masa kini. Para siswa
yang lulus, kelihatan bersorak gembira
dan bahkan sebagian mereka melampiaskan kegembiraan dengan mencat
pakaian mereka warna-warni untuk mengekspresikan perasaan meraka. Di lain pihak, yang tidak lulus nampak ada yang
menyikapi dengan tenang walau raut wajah mereka tak mampu menyembunyikan kegalauan perasaan mereka, bahkan ada yang histeris.( Tribun 15/06/08) dan ada yang harus dilarikan ke
rumah sakit, konon, ada yang berniat bunuh diri atau bahkan bunuh diri benaran.
Akhlak Yang
Tidak Baik
Beberapa saat setelah pengumuman kelulusan mulai nampak sikap siswa. Kebanyakan mereka
menyemprot pakaian dengan cat untuk melampiaskan kegembiraan kemudian mereka
konvoi dengan sepeda motor di jalan-jalan
utama untuk memamerkan kelulusan mereka. Mereka tak peduli apakah nilainya bagus
atau tidak. Padahal, secara tidak sadar mereka memperlihatkan beberapa akhlak yang tidak baik. Pertama,
perilaku mubazir dengan mengorbankan
baju masih layak pakai untuk
disemprot dengan cat. Kedua, Secara
bergerombol di jalanan dapat mengakibatkan
terjadinya laka lantas atau paling tidak mengganggu pemakai jalan yang
lain karena konvoi yang mereka lakukan. Alangkah bermanfaatnya jika mereka
secara berkelompok menyumbangkan pakaian serta uang untuk pembeli cat semprot
tersebut kepada adik kelas atau siapa saja yang membutuhkan. Bukankah di zaman krismon yang berkepanjangan ini bantuan
itu akan sangat berarti bagi orang lain dan sekaligus belajar mengetuk hati
nurani mereka untuk tidak egois memikirkan diri sendiri. Kejadian ini diharapkan jadi pelajaran bagi para pendidik
dan siapa saja yang peduli pada pendidikan. Untuk tahun mendatang, barang kali rekan-rekan
guru dapat mengkoordinir siswa mengumpulkan pakaian seragam yang masih layak
pakai untuk disumbangkan kepada meraka yang kurang mampu. Di samping itu lebih
baik lagi jika mereka dibawa ke tempat anak yatim dan menyumbangkan uang yang
meraka rencanakan pembeli cat semprot. Lebih lanjut, barangkali siswa masih
perlu diberi sanksi jika ketahuan mencoret dan secara bergerombol seenaknya di
jalan raya. Dengan menahan SKHU, atau Ijazah mereka. Ini akan lebih bermakna
dan mendidik.
Tidak Adil
Dilaksanakannya UN se Indonesia merupakan
wujud keseriusan pemerintah dalam memperbaiki kualitas pendidikan nasional. Dari
hasil UN ini diharapkan dapat diukur sejauhmana keberhasilan siswa, guru dan pemerintah
daerah dalam pendidikan dibandingkan
dengan daerah lainnya. Dengan adanya UN ini nampak ada geliat daerah untuk
memperbaiki dunia pendidikan di daerahnya. Semua berlomba untuk mencapai hasil
terbaik. Kalau mungkin terbaik di Indonesia . Nilai terbaik
akan menjadi prestise sekaligus prestasi bagi daerah. Sudah jadi rahasia umum, saking bergairahnya kecurangan
pun dilakukan untuk meraih hasil. Sekali lagi hasil terbaik!
Sekolah
telah mendidik siswa selama tiga tahun. Akhlak, keterampilan dan cara berpikir
mereka telah diasah dalam rentang waku tersebut. Ketika UN tiba segalanya bisa
berakhir dengan ketidak lulusan mereka dalam mengikuti UN. Pertanyaannya adalah apakah kualitas sekolah hanya diukur dari faktor
akademis saja? Bukankah angka-angka
tersebut belum mewakili keberhasilan sekolah yang sesungguhnya? Pertanyaan ini masih berlanjut. Sejauhmana
kejujuran sekolah sebagai pelaksana UN di sekolah? Sebagai mana yang pernah
diberitakan sebelumnya ada beberapa kepala sekolah yang sepakat menyebar kunci
jawaban (Tribun, 23//04/08) Bukankah cukup banyak bukti keterlibatan sekolah
membantu siswanya menjawab soal UN tersebut? Termasuk yang terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya. Sekolah yang siswanya banyak gagal belum tentu berarti
sekolahnya tidak bagus, bisa jadi sekolah tersebut lebih jujur dalam
melaksanakan UN. Bagaimana dengan anak yang sakit atau sedang bermasalah ketika
akan menghadapi UN lantas ada mata pelajaran yang tidak lulus. Lihat saja
seperti apa yang terjadi di SMAN 1 Mempura Siak, beberapa orang di antara siswa
yang tidak lulus merupakan siswa yang berprestasi (Tribun 15/06/08 ). Barangkali masih banyak faktor lain yang ikut menentukan tingginya perolehan
angka-angka UN tersebut. Jadi, rasanya sangat tidak adil jika UN dijadikan
sebagai faktor penentu kelulusan.
Kembali ke
Model EBTANAS
Istilah UN dan EBTANAS barangkali hanya perbedaan nama saja, apalagi
bukankah sudah jadi pemeo, jika ganti
mentri maka ganti kukikulum termasuk ganti istilah barangkali. Ada beberapa kelebihan EBTANAS; Penentu
kelulusan tetap sekolah. Sekolah memutuskan kelulusan dengan pertimbangan nilai
semester 1 (P) tambah semester 2 (Q) tambah nilai EBTA/NAS (R) yang dulu disebut dengan Nilai PQR dan
tingkat kesulitan soal pun dibedakan dengan membuat koefisien tertentu untuk mata pelajaran yang berbeda. Hal lain yang
membedakan adalah waktu pelaksanaan UN
dan pengumuman lebih dari satu bulan
sementara EBTANAS tidak membutuhkan waktu selama itu. Setelah pelaksanaan UN kebanyakan siswa kelas
tiga relatif tidak punya kegiatan. Berita tentang curangnya pelaksanaan EBTANAS
tidak separah pada pelaksanaan UN. Melihat keadaan ini, apakah tidak perlu dikaji
ulang efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan ujian nasional ini. Bagaimana jika model
pelaksanaan EBTANAS dilaksanakan kembali, tentu saja diperbaiki disana sini
sesuai dengan kebutuhan saat ini. Terutama sekali dalam penentuan kelulusan.
Ada baiknya apa yang dilakukan PEMDA Padang dijadikan rujukan dalam pelaksanaan
UN dan penentuan kelulusan. Ada 4 (empat) syarat kelulusan; (1) administrasi,
(2) nilai rata-rata baik, agama, PKN dan Kesenian (3) Lulus mata pelajaran
ujian sekolah dan (4) Lulus UN. Jadi Lulus
UN Tidak Menjamin Lulus UAS Atau Sebaliknya. (Tribun, 18/06/08).
PENGGUNAAN NAMA ATAU ISTILAH
DALAM PENDIDIKAN INDONESIA
Barangkali
kita perlu belajar banyak ke negeri tetangga, Malaysia. Tahun 70an, Malaysia
masih mengimpor guru dan dosen dari
Indonesia, tapi hari ini pendidikan kita justru banyak belajar ke Malaysia. Ini jelas terlihat dengan adanya trend pengiriman mahasiswa ke Malaysia. Tak dapat dipungkiri, hasil pendidikan
Malaysia memang jauh lebih baik dari
pada negeri kita. Di lapangan, memang terlihat pendidikan kita kurang terurus,
kinerja guru kita banyak yang perlu dipertanyakan. Banyak guru yang hadir di
sekolah hanya pada saat jam mengajar setelah itu, mungkin cari objekan lain karena
memang gaji guru tak mencukupi apalagi guru honor. Kebanyakan guru taraf hidupnya masih layak hidup belum dapat
disebut hidup layak. Hal lain, kurikulum
pendidikan Indonesia memang terlalu gemuk terlalu banyak yang dipelajari siswa kita. Sepertinya sistim pendidikan Indonesia harus
dikaji ulang, bahkan dari segi penamaanpun rasanya masih bermasalah. Coba saja
lihat dari jenjang yang paling rendah dari pendidikan pra sekolah sampai
pendidikan menengah dimulai dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD),
sekolah menengah pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Seharusnya kalau yang satu disebut SMP maka
sekolah di atasnya disebut SMK (sekolah
menengah kedua) atau kalau disebut SMA (sekolah menengah atas) maka
yang satunya lagi adalah SMB ( sekolah menengah bawah). Terakhir kita berharap jika
alokasi dana pendidikan 20% itu benar-benar sampai di tujuan. Kalau bisa
dimisalkan pemerintah pusat memberikan seekor ayam utuh untuk kecamatan, maka yang sampai hanya
tulangnya saja, sementara dagingnya hilang dijalan.
Sebenarnya tulisan ini sudah dibuat beberapa tahun yang lalu tapi belum pernah dimuat dan rasanya masih relevan dengan keaadaan hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar