Halaman

Minggu, 06 Januari 2013

UJIAN NASIONAL DAN PENDIDIKAN KITA


Bulan Juni setiap tahunnya bisa jadi merupakan  hari penuh tawa atau petaka bagi siswa kelas IX  SMP/MTs atau kelas XII  SLTA/MA se Indonesia.  Banyak kejadian menarik yang dapat menggambarkan kondisi remaja dan pendidikan kita masa kini.  Para siswa yang lulus, kelihatan bersorak gembira  dan bahkan sebagian mereka melampiaskan kegembiraan dengan mencat pakaian mereka warna-warni untuk mengekspresikan perasaan meraka. Di lain pihak, yang tidak lulus nampak  ada yang menyikapi dengan tenang walau raut wajah mereka tak mampu menyembunyikan  kegalauan perasaan mereka, bahkan ada yang  histeris.( Tribun  15/06/08) dan ada yang harus dilarikan ke rumah sakit, konon, ada yang berniat bunuh diri atau bahkan bunuh diri benaran.

Akhlak Yang Tidak Baik
Beberapa saat setelah pengumuman kelulusan  mulai nampak sikap siswa. Kebanyakan mereka menyemprot pakaian dengan cat untuk melampiaskan kegembiraan kemudian mereka konvoi dengan sepeda motor  di jalan-jalan utama untuk memamerkan kelulusan mereka. Mereka tak peduli apakah nilainya bagus atau tidak. Padahal, secara tidak sadar mereka memperlihatkan  beberapa akhlak yang tidak  baik. Pertama, perilaku mubazir dengan  mengorbankan baju masih layak pakai untuk disemprot dengan cat. Kedua, Secara bergerombol di jalanan dapat mengakibatkan  terjadinya laka lantas atau paling tidak mengganggu pemakai jalan yang lain karena konvoi yang mereka lakukan. Alangkah bermanfaatnya jika mereka secara berkelompok menyumbangkan pakaian serta uang untuk pembeli cat semprot tersebut kepada adik kelas atau siapa saja yang membutuhkan. Bukankah  di zaman krismon yang berkepanjangan ini bantuan itu akan sangat berarti bagi orang lain dan sekaligus belajar mengetuk hati nurani mereka untuk tidak egois memikirkan diri sendiri. Kejadian ini  diharapkan jadi pelajaran bagi para pendidik dan siapa saja yang peduli pada pendidikan.  Untuk tahun mendatang, barang kali rekan-rekan guru dapat mengkoordinir siswa  mengumpulkan pakaian seragam yang masih layak pakai untuk disumbangkan kepada meraka yang kurang mampu. Di samping itu lebih baik lagi jika mereka dibawa ke tempat anak yatim dan menyumbangkan uang yang meraka rencanakan pembeli cat semprot. Lebih lanjut, barangkali siswa masih perlu diberi sanksi jika ketahuan mencoret dan secara bergerombol seenaknya di jalan raya. Dengan menahan SKHU, atau Ijazah mereka. Ini akan lebih bermakna dan mendidik.

Tidak Adil
Dilaksanakannya UN se Indonesia merupakan wujud keseriusan pemerintah dalam memperbaiki kualitas pendidikan nasional. Dari hasil UN ini diharapkan dapat diukur sejauhmana keberhasilan siswa, guru dan pemerintah daerah dalam  pendidikan dibandingkan dengan daerah lainnya. Dengan adanya UN ini nampak ada geliat daerah untuk memperbaiki dunia pendidikan di daerahnya. Semua berlomba untuk mencapai hasil terbaik. Kalau mungkin terbaik di Indonesia.  Nilai terbaik  akan menjadi prestise sekaligus prestasi bagi daerah.  Sudah jadi rahasia umum, saking bergairahnya kecurangan pun dilakukan untuk meraih hasil. Sekali lagi hasil terbaik!  
            Sekolah telah mendidik siswa selama tiga tahun. Akhlak, keterampilan dan cara berpikir mereka telah diasah dalam rentang waku tersebut. Ketika UN tiba segalanya bisa berakhir dengan ketidak lulusan mereka dalam mengikuti UN.  Pertanyaannya adalah apakah  kualitas sekolah hanya diukur dari faktor akademis saja?  Bukankah angka-angka tersebut belum mewakili keberhasilan sekolah yang sesungguhnya?  Pertanyaan ini masih berlanjut. Sejauhmana kejujuran sekolah sebagai pelaksana UN di sekolah? Sebagai mana yang pernah diberitakan sebelumnya ada beberapa kepala sekolah yang sepakat menyebar kunci jawaban (Tribun, 23//04/08) Bukankah cukup banyak bukti keterlibatan sekolah membantu siswanya menjawab soal UN tersebut? Termasuk yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sekolah yang siswanya banyak gagal belum tentu berarti sekolahnya tidak bagus, bisa jadi sekolah tersebut lebih jujur dalam melaksanakan UN. Bagaimana dengan anak yang sakit atau sedang bermasalah ketika akan menghadapi UN lantas ada mata pelajaran yang tidak lulus. Lihat saja seperti apa yang terjadi di SMAN 1 Mempura Siak, beberapa orang di antara siswa yang tidak lulus merupakan siswa yang berprestasi (Tribun 15/06/08).  Barangkali masih banyak faktor lain yang  ikut menentukan tingginya perolehan angka-angka UN tersebut. Jadi, rasanya sangat tidak adil jika UN dijadikan sebagai faktor penentu kelulusan.


Kembali ke Model EBTANAS
Istilah UN dan EBTANAS  barangkali hanya perbedaan nama saja, apalagi bukankah  sudah jadi pemeo, jika ganti mentri maka ganti kukikulum termasuk ganti istilah barangkali. Ada beberapa kelebihan EBTANAS; Penentu kelulusan tetap sekolah. Sekolah  memutuskan kelulusan dengan pertimbangan nilai semester 1 (P) tambah semester 2 (Q) tambah nilai EBTA/NAS (R)   yang dulu disebut dengan Nilai PQR dan tingkat kesulitan soal pun dibedakan dengan membuat koefisien tertentu untuk  mata pelajaran yang berbeda. Hal lain yang membedakan  adalah waktu pelaksanaan UN dan pengumuman  lebih dari satu bulan sementara EBTANAS tidak membutuhkan waktu selama itu.  Setelah pelaksanaan UN kebanyakan siswa kelas tiga relatif tidak punya kegiatan. Berita tentang curangnya pelaksanaan EBTANAS tidak separah pada pelaksanaan UN.   Melihat keadaan ini, apakah tidak perlu dikaji ulang  efektifitas dan efisiensi pelaksanaan ujian nasional ini. Bagaimana jika model pelaksanaan EBTANAS dilaksanakan kembali, tentu saja diperbaiki disana sini sesuai dengan kebutuhan saat ini. Terutama sekali dalam penentuan kelulusan. Ada baiknya apa yang dilakukan PEMDA Padang dijadikan rujukan dalam pelaksanaan UN dan penentuan kelulusan. Ada 4 (empat) syarat kelulusan; (1) administrasi, (2) nilai rata-rata baik, agama, PKN dan Kesenian (3) Lulus mata pelajaran ujian sekolah dan (4) Lulus UN. Jadi Lulus UN Tidak Menjamin Lulus UAS Atau Sebaliknya. (Tribun,  18/06/08). 

PENGGUNAAN NAMA ATAU ISTILAH DALAM PENDIDIKAN INDONESIA
Barangkali kita perlu belajar banyak ke negeri tetangga, Malaysia. Tahun 70an, Malaysia masih mengimpor  guru dan dosen dari Indonesia, tapi hari ini pendidikan kita justru banyak belajar ke Malaysia. Ini jelas terlihat dengan adanya trend pengiriman mahasiswa ke Malaysia.   Tak dapat dipungkiri, hasil pendidikan Malaysia  memang jauh lebih baik dari pada negeri kita. Di lapangan, memang terlihat pendidikan kita kurang terurus, kinerja guru kita banyak yang perlu dipertanyakan. Banyak guru yang hadir di sekolah hanya pada saat jam mengajar  setelah itu, mungkin cari objekan lain karena memang gaji guru tak mencukupi apalagi guru honor. Kebanyakan guru  taraf hidupnya masih layak hidup belum dapat disebut hidup layak.  Hal lain, kurikulum pendidikan Indonesia memang terlalu gemuk  terlalu banyak yang dipelajari siswa kita.  Sepertinya sistim pendidikan Indonesia harus dikaji ulang, bahkan dari segi penamaanpun rasanya masih bermasalah. Coba saja lihat dari jenjang yang paling rendah dari pendidikan pra sekolah sampai pendidikan menengah dimulai dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).  Seharusnya kalau yang satu disebut SMP maka sekolah di atasnya disebut  SMK (sekolah menengah kedua)  atau    kalau disebut SMA (sekolah menengah atas) maka yang satunya lagi adalah SMB ( sekolah menengah bawah).  Terakhir kita berharap jika alokasi dana pendidikan 20% itu benar-benar sampai di tujuan. Kalau bisa dimisalkan pemerintah pusat memberikan seekor ayam  utuh untuk kecamatan, maka yang sampai hanya tulangnya saja, sementara dagingnya hilang dijalan.  

Sebenarnya tulisan ini sudah dibuat beberapa tahun yang lalu tapi belum pernah dimuat dan rasanya masih relevan dengan keaadaan hari ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar