Halaman

Minggu, 06 Januari 2013

Tauhid dan Macam-macamnya (Bag. 1)

At-tauhid menurut bahasa merupakan mashdar dari wahhada. Jika dikatakan wahhada asy-syai’a artinya menjadikan sesuatu itu satu. Adapun menurut syari’at berarti mengesakan Allah dengan sesuatu khusus bagi-Nya, berupa rububiyah, uluhiyah, al-asma’ dan sifat.
Macam-macam Tauhid
Tauhid dibagi menjadi tiga macam:
1.      Tauhid rububiyah
2.      Tauhid uluhiyah
3.    Tauhid asma’ wa sifat
Macam-macam tauhid ini terhimpun dalam firman Allah,
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seseorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam:65)
Pertama: Tauhid Rububiyah
Makna Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan. Pengesaan Allah dalm penciptaan artinya keyakinan manusia bahwa tidak ada pencipta melainkan Allah semata. Firman-Nya’
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (Al A’raf: 54).
Redaksi ini mengharuskan pembatasan karena didahului dengan pengabaran (khabar). Sebab mendahulukan sesuatu yang semestinya diakhirkan berarti mengharuskan pembatasan. Firman Alla,
“Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada Illah selain Dia, maka mengapa kalian berpaling )dari ketauhidan)?” (Fathir: 3)
Ayat ini mengharuskan pengkhususan penciptaan makhluk bagi Allah, karena bentuknya yang berupa kalimat Tanya, yang memberikan makna pembatasan.
Tentang disebutkannya penetapan pencipta selain Allah, seperti firman-Nya, “Maka Mahasuci Allah, yang paling baik diantara para pencipta”, begitu pula seperti sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam tentang orang-orang yang membuat gambar, lalu dikatakan pada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan”[1], maka ini bukan penciptaan yang hakiki, bukan mengadakan setelah tidak ada, tapi itu berarti mengubah atau mengalihkan dari satu keadaan ke keadaan lain, dan itu pun tidak menyeluruh, tapi terbatas pada scope yang sempit serta tidak menafikkan perkataan kami: pengesaan Allah dalam mencipta.
Pengesaan Allah dalam kepemilikan, artinya kita yakin bahwa tidak ada yang memiliki makhluk kecuali yang menciptakan mereka, sebagaimana firman-Nya,
“Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi.” (Ali Imran: 189)
“Katakanlah, ‘Siapakah yang di Tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu?” (Al Mukminun: 88)

Tentang disebutkannya penetapan kepemilikan bagi selain Allah, seperti firman-Nya, “Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal itu tiada tercela” (Al Mukminun: 6), atau seperti firman-Nya yang lain, “…..atau rumah yang kalian miliki kuncinya” (An Nur: 61), maka itu merupakan kepemilikan yang terbatas, tidak mencakup kecuali satu dua hal yang lemah dari suatu makhluk ini. Manusia hanya bisa memiliki apa yang ada di bawah tangannya dan dia tidak berhak memiliki apa yang ada di tangan orang lain. Itu pun juga merupakan kepemilikan yang terbatas ditilik dari sifatnya. Manusia tidak bisa memiliki apa yang ada di tangannya dengan kepemilikan secara sempurna. Karena itu dia tidak boleh menggunakannya kecuali menurut cara yang diperbolehkan menurut syariat. Sebagai contoh, ketika seseorang hendak membakar harta miliknya atau menyiksa hewan ternaknya, maka kita katakan kepadanya, “Yang demikian itu tidak diperbolehkan.” Adapun Allah memiliki segalanya dengan kepemilikan yang sempurna dan menyeluruh.
Adapun pengesaan Allah dalam masalah pengurusan dan pengaturan, artinya keyakinan manusia bahwa tidak ada yang mampu mengurusi kecuali Allah semata, sebagaiman firman-Nya,
“Katakanlah,’Siapakah yang memberi rezki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarakan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘mengapa kalian tidak bertaqwa (kepada-Nya)’. Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya, maka tidak ada sesudahnya kebenaran melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kalian dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 31-32).
Sedangkan pengaturan manusia terbatas hanya terhadap hal-hal di bawah tangannya dan terbatas pada hal-hal yang diizinkan baginya menurut syariat.
Jenis tauhid ini tidak ditentang orang-orang musyrik, yang kepada merekalah Rasulullah shallahu’alaihi wassalam diutus, bahkan mereka mengakui hal itu. Firman Allah,
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ niscaya mereka akan menjawab,’semuanya diciptakan oleh yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui’.” (Az Zukruf: 9).
Mereka mengakui bahwa Allahlah yang mengatur segala urusan dan di Tangan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Tak seorang pun dari Bani Adam mengingkari hal ini. Tak seorang pun di antara makhluk yang berkata, “Alam ini mempunyai dua pencipta yang sama”.
Tak seorang pun mengingkari tauhid rububiyah, tidak dengan cara pengguguran maupun dengan cara penyekutuan, kecuali orang semacam Fir’aun, yang mengingkari tauhid rububiyah secara pengguguran karena kesombongan. Dia meniadakan rububiyah Allah dan bahkan mengingkari wujud-Nya. Firman Allah mengisahkan tentang dirinya,
“Dia berkata, ‘Akulah tuhan kalian yang paling tinggi’.” (An Nazi’at: 24)
“Aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain aku.” (Al Qashash: 38)
Ini merupakan kesombongan dari Fir’aun, karena dia melihat bahwa tuhan adalah selain Allah, sebagaimana firman-Nya,
“Dan, mereka mengingkarinya karena kedzliman dan kesombongan (mereka).” (An Naml: 14).
Allah berfirman mengisahkan tentang Musa ketika berdialog dengan Fir’aun,
“Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi.” (Al Isra’: 102).
Tapi sebenarnya jauh di dalam hatinya Fir’aun mengakui bahwa Rabb adalah Allah Azza wa Jalla.
Yang mengingkari tauhid rububiyah dengan cara penyekutuan adalah orang-orang majusi, yang berkata, “Alam ini mempunyai dua pencipta: cahaya dan gelap.” Di samping itu, mereka tidak menganggap dua pencipta ini sama. Mereka berkata, “Sesungguhnya cahaya lebih baik dari gelap, karena ia menciptakan kebaikan, sedangkan kegelapan menciptakan keburukan. Yang menciptakan kebaikan adalah kebaikan, yang menciptakan keburukan adalah keburukan”.
Mereka juga menyatakan kegelapan merupakan ketiadaan yang tidak dapat menyinari, sedangkan cahaya merupakan wujud yang dapat menyinari, yang dzatnya lebih sempurna. Mereka juga menyatakan jenis ketiga, bahwa apakah cahaya itu merupakan sesuatu yang lama, menurut para filsof? Mereka saling berbeda pendapat tentang kegelapan, apakah ia sesuatu yang lama atau baru? Ada dua pendapat di kalangan mereka tentang hal ini.
Adapun dalil  Aqli yang menunjukkan bahwa pencipta itu hanya satu, sebagaiman yang diisyratkan Allah,
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tiada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebahagian yang lain.” (Al Mukminun: 91)
Sebab sekiranya kita mendapatkan bahwa alam ini mempunyai dua pencipta tentunya setiap pencipta berambisi untuk menyendiri dengan apa-apa yang diciptakannya dan ingin berdiri sendiri seperti kebiasaan para raja. Tentunya dia tidak ridha sekiranya ada orang lain yang bersekutu dengannya.
 Dalam keadaan seperti ini, jika masing-masing tuhan menginginkan kekuasaan, maka boleh jadi dia tidak mampu mengalahkan tuhan yang lain, atau boleh jadi dia mampu mengalahkannya. Jika satu tuhan dapat mengalahkan tuhan yang lain, maka barulah ada pengakuan tauhid rububiyah baginya. Jika masing-masing tidak mampu mengalahkan yang lain, maka rububiyah tidak layak diberikan kepada masing-masing, karena siapa yang lemah tidak layak disebut Rabb.

Ditulis ulang dari Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit-Tauhid oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin
Edisi Indonesia Syarah Kitab Tauhid jilid 1, penerbit Darul Falah



[1] Dari hadist Ibnu Umar ditakhrij al-Bukhary di dalam Shahihnya, Muslim di dalam Shahihnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar